Selasa, 11 April 2017

Fase baru

Rasanya, mengucap hamdalah aja ngga cukup buat mengekspresikan betapa bersyukurnya menjadi Himma, dalam versi terbarunya.
Terimakasih ya Allah, dengan segala skenarioMu, aku dapat belajar memperbaiki diri. Menjadi versi terbaik dari diriku sendiri. Memang tidak pernah menjadi mudah urusan jalan kebaikan. Tapi Allah ngga pernah salah, menakar ujian kemudahan cara dan hikmahnya. Karena menjadi baik adalah sebuah pencapaian, maka usaha adalah media, dan doa adalah kunci yang akan mengetuk pintu pintu langit. Mereaksikan antara usaha dan doa untuk menjadikan hasil yang baik. Haha opo iki.

Hari ini, tepat di hari kedua aku mulai menghidupi hidupku di fase yang baru. Terlalu banyak kisah, terlalu banyak gejolak, air mata, tawa, dan doa. Doa yang ngga pernah berhenti mengalir. Bahkan disaat matanya terpejam, namaku masih disebut, doanya mengetuk pintu pintu langit. Aku percaya, setiap katanya adalah doa, setiap doanya adalah kunci, yang akan mengetuk pintu pintu langit lebih sering. Setelah segala kesalahan yang pernah aku lalui di hari kemarin, janji saya adalah menjadi ridho. Atas apapun keputusan umi. Umi, orang yang pertama dan seterusnya mengetuk pintu pintu langit untukku. Untuk mengabulkan setiap pintaku. Bahkan tanpa aku memintanya mengetuk pintu langit. Hanya lewat ocehan penuh kemarahan, obrolan penuh keluhan, beliau mendengarkan. Bertanya. Menasihati. Diam. Kemudian ia mulai merayu Allah, dengan ketukan pintu pintu langit yang ngga pernah berhenti. Hahhh :") dan Allah tidak pernah ingkar. Aku terlalu bersyukur punya umi. Doanya luar biasa, entah bagaimana cara umi merayu Allah. Sampai Allah memberikan segalanya untukku.

Janji saya adalah untuk ridho atas semua keputusan umi. Dalam hal apapun. Saya berada di FKG karena umi ridho. Saya menunggu jodoh sesuai ridho umi. Maaf, jika alasan penolakan itu terlalu kuat. Karena janji saya, yg membuat saya tidak mengistikhorohkan ketika umi sudah berkata tidak. Ketahuilah, surga saya, ada dibawah kaki umi saya. Dan pintu pintu langit, akan sering ia ketuk, tanpa aku minta.

Dan di fase baru ini, aku mengusahakan yg terbaik untuk diriku. Menjadi sebaik baik diriku. Menjadi sebaik baik anak. Menjadi sebaik baik calon dokter gigi. Menjadi sebaik baik kawan. Dan menjadi sebaik baik hamba, pada khususnya.

Karena setiap orang akan melewati semua fase manis pahit kelam cerah dalam hidupnya. Allah, yang menuntun saya untuk memasuki setiap fase fase berikutnya. Izinkan saya untuk melangitkan syukur atas kehadiran umi dan orang orang yg selalu membuat saya bersyukur menjadi Himma, dengan sebaik baik himma.

Terimakasih,
Wasalam

Rabu, 04 Januari 2017

Menyapa ruang

Assalamualaikum blog.
Selamat malam, its been a year. Hehe masih inget kok aku punya kamu. Tempat segala kealayan berubah ketenangan. Ehe

Sedang tidak mood bercerita. I just wanna say that im too happy to be me. Terimakasih untuk segala kebahagiaannya. 2016, terbaik. Terus begitu, tetap seperti itu, kamu. 😗


Salam sayang,
Himma
#2017berevolusi

Aku pernah mengagumi seseorang.

Mungkin dirinya tahu bahwa aku sungguh mengaguminya, meski tanpa sedikitpun aku berucap padanya bahwa aku mengaguminya.


Segalanya terlihat begitu memesona.

Segalanya terlihat sungguh luar biasa.

Segalanya terlihat menakjubkan.

Bahkan aku bingung hendak seperti apa aku mendeskripsikan pandanganku atas dirinya.



Segala ucapnya nasihat.

Segala lakunya manfaat.

Segala pikirnya dahsyat.



Entahlah, aku pernah teramat sangat mengaguminya.

Menanti datangnya waktu berjumpa dengannya lagi.

Menanti dapat bertukar pikiran dengannya.

Menanti mendengar nasihat-nasihatnya.



Namun Allah menegaskan bahwa aku tak bisa mengagumi seseorang melebihi UtusanNya.

Ia timpakan padaku pedihnya rasa kecewa berharap kepada selainNya.

Hanya ingin menunjukkan bahwa tiada harap yang tak mengecewakan, kecuali berharap padaNya.



Lagi, aku mulai tersadar bahwasannya kami sama.

Sama-sama manusia yang memakan nasi.

Sama-sama manusia yang menghirup oksigen.

Sama-sama manusia yang sedang belajar.

Meski aku belajar banyak darinya tanpa ia ketahui.

Atau mungkin dirinya pun belajar padaku.

Entah apa yang bisa ia pelajari dariku.

Mungkin sesimpel menjadi orang cuek dan apa adanya? hmm



Kini aku menjadi sibuk.

Memendam rinduku pada seseorang yang pernah kukagumi.

Serindu itu.

Belum lama aku sibuk memendam kecewaku padamu.

Tak butuh waktu lama.
Karena jarak nyatanya mampu memperbaiki segalanya.

Meski lebih banyak waktu kubuat untuk menjadi tak peduli lagi padamu.

Karena jarak, lagi dan lagi.



Aku merindukanmu, seakan telah lama sekali mengenalmu.
Padahal tidak seperti itu.

Mungkin, kesan yang kau beri padaku lah yang melekat lama.

Sehingga rindu ini menjadi tak terkendali.



Hendak lewat mana aku sampaikan padamu perihal rinduku?

Ah, aku masih memiliki sajadah.

Kembali menengadah dikala sunyi, nyatanya mampu meredam rindu ini perlahan.

Hingga waktu yang akan mengantarmu pulang.

Meski entah kapan.



Sudahlah, berhenti mengagumi seseorang secara berlebihan.

Karena kita sama-sama manusia.

Karena ketika hati ini kecewa, mungkin justru akibat kekaguman yang berlebihan ini.

Akulah yang harus mengontrol rasa di hati ini agar tetap pada kadarnya.

Sampai waktunya tiba kamu kembali.

Tersenyum lagi padaku.

Tertawa lagi untukku.



Tetaplah begitu Kak.

Kamu istimewa apa adanya kamu.

Jangan hiraukan kecewaku.

Aku bisa mengatasinya.

Percayalah.

Kamu bintang yang hadir menerangi gelap malamku.

Kamu langit yang selalu meneduhkan hatiku.

Kamu laut yang menenangkan pikiranku.



Semoga harimu menyenangkan, Kak.

Salam rindu dari adikmu.

Salam rindu dari pengagum rahasiamu.

Tetaplah begitu.

Kamu.




-Himma-

Rabu, 19 Oktober 2016

Karena Selama Hidup Kita Belajar

Rasanya baru kemarin. Galau galau nangis nangis ngga jelas cuma gara gara masalah hati. Tau tau, sekarang, udah lupak selupak lupaknya sama hal macem gituan. Mulai menikmati kesendirian, kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mulai bisa membedakan mana baik mana salah. Bukan Himma namanya kalau belum tau rasanya gagal. Dan saya, bukan tipe orang yang mudah percaya begitu saja sama apa kata orang. Karena sekarang, saya belajar. Bahwa pengalaman, mengajarkan segalanya. Bahwa pengalaman mengubah segalanya.

Sempat terpikir buat pergi jauh. Merusak diri sendiri akibat masalah hati yang tak kunjung usai pada masa itu. Tapi, Allah terlalu baik. Allah hadirkan mereka (re : sahabat dunia akhirat dan geng ala ala) yang pada akhirnya bisa mengembalikan senyum saya. Berlebihan mungkin. Tapi, semua teman dekatku paham. Aku, si anak kecil yang ngga pernah bisa dan rela sendiri. Mereka juga yang membuat saya kembali menumbuhkan semangat semangat baru. Sampai akhirnya......


Saya berada pada titik dimana saya merasa saya salah. Pernah menjadi Himma yang dahulu. Tapi logika saya terus berteriak untuk melupakan masa lalu. Tepatnya, membiarkannya ada di belakang dan menjadi cerita lama yang akan ku jadikan bahan cerita kepada anak cucumu. Bahwa kamu, pernah bertransformasi. Pernah berproses. Pernah berprogress. Dan Allah setidak main main itu dalam menciptakan setiap detail skenario.

Saya banyak belajar. Bahwa hidup ini adalah soal penerimaan. Menerima senyuman pun juga tangisan. Terkadang, saya rindu untuk menangis. Namun, setelah masalah hati dapat kuatasi, aku tak memiliki alasan lagi untuk menangis. Sekali dua waktu memang aku menangisi akademis dan betapa sayangnya aku dengan kedua orangtuaku. Tapi itu tak berlangsung lama dan intens seperti menangisi hati dahulu.

Yasudah. Time flies so fast. 2016 akan segera berakhir. 2017 akan segera datang. Tahun yang kutunggu tunggu. Kelulusan, koass, kedewasaan, dan kamu. Oke. Aku mulai bisa mendefinisikan siapa kamu sekarang. Meski bukan farmasi atau dokter artinya namun sekarang aku tahu. Kamu. Akan semakin dekat. Orangtua saya tepatnya telah mempersiapkan kamu, untuk 2017 ku. Tapi aku, masih tidak bisa meraba siapa kamu. Hanya lewat doa, aku titipkan pada Allah ku, bahwa aku menginginkan kebaikan, maka izinkan aku mendapatkan lelaki baik. Tidak muluk. Karena untuk sekedar berharap pada orang lain saja aku sudah tak sanggup. Apalagi mendoakan namanya dalam setiap sujudku. Sudahlah. Allah know best, my parents give best. Haha. Semenjak aku tau aku salah, aku tak lagi membiarkan diriku memilih. Biarlah mereka yang memilihku. Mengusahakanku. Dan menghargai seperti apa yang telah mereka impikan sejak dahulu. Karena aku yakin. Pilihan orangtuaku takkan salah, dan takdir Allah tidak akan tertukar karena manusia banyak salah, maka kuserahkan semua pada Allah lewat doa dan ikhtiar orangtuaku. Aku juga berikhtiar, tidak mencari, tapi memperbaiki diri. Itu saja.

Karena, sempat sejenak waktu aku mengharapkan orang baik. Sangat baik pada waktu itu. Nyatanya, perlahan Allah bukakan mataku untuk menutup harap dan kembali berserah. Itu sebab nya aku tak lagi mampu berharap. Meski hanya berharap.

Ah! Himma! Ngomongin ukh disana yang ngomongin cowok terus. Tapi sendirinya ngomongin hati jugak. Oke biar saya lakukan pembelaan heheh. Saya tidak pernah melarang diri saya untuk itu. Apalagi berusaha bijak untuk tidak menuju itu. Saya tau kapasitas diri saya. Dan saya tidak berlindung dibalik balutan kata yang ditutup tapi membuka (lho) hahah. Ah udahlah Him. 2017 akan segera datang. So......

Please. Belajar besok CBT wkwk. Maaf ini hanya kerandoman saya yang lelah belajar dan habis melihat bentuk pencitraan masa lalu. Non sense. I have no interest. Heheh

Wasaalam
HS

Sabtu, 20 Agustus 2016

Tidak Untuk Meninggalkan Jejak Buruk

Karena saya sadar saya seorang perempuan, saya seorang calon ibu, seorang calon teladan bagi anak-anak saya. Dan saya, tidak ingin meninggalkan jejak buruk pada anak anak saya, meski itu hanya sebuah kenangan.

Teringat kata2 yg berulang kali menampar2. Ka Avina bilang "bahagia itu pilihan yg bisa dipilih pakai akal". Men! Bahagia itu terlalu mudah. Terlalu diterima akal. Jangan mempersulit diri dan menikmati keruwetan yg sebetulnya ngga perlu diruwetin. Misal, sabtu minggu libur ngga ngelab. Yaudah nikmatin aja dlu. Istirahat. Lha ini malah mikir keras. Capek sendiri. Padahal senin itu madih lusa. Heu Him Him.

Dan kamu, perempuan moody kesayangaaan. Plis atuhlah dikontrol emosinya. Alhamdulillah nih skrg saya mengapresiasi diri sy sendiri. Sy sdh tidak meledak seketika di tong sampah yg seharusnya sy membuang ledakannya. Tp saya meledakkannya sendiri, perlahan. Tapi? Masih, seribet itu. Mencari cara utk menenangkan hati sendiri. Buru2 cari headset sama hp lama buat dengerin murotal. Ya krn memang cm dgn dengerin murotal, emosi sy bisa turun, perlahan. Akhirnya baru sy bisa mikir utk tidak melakukan apapun. Karena, bahagia yg katanya pilihan itu, terlalu mudah diterima akal, Him! (Nasihatin diri sendiri).

Sungguh tidak mudah menasihati diri sendiri. Kadang, saya menikmati waktu2 sendiri, untuk menyepi, berkontemplasi, dan bercengkrama dgn batin saya sendiri. Tujuannya? Utk berulang kali menasihati diri yg jauh lebih sulit dikasih tau kalo mood udah turun. Men, mood jgn diikutin lha. Udah gede :") terus malu sendiri. Tapi, lagi2 alhamdulillah. Sy skrg tidak byk merepotkan org lain utk mendengarkan cerita2 pembenaran hati saya ketika sy emosi. Sy, entah sejak kapan, sy mulai byk memendam. Berpikir sendiri, menasihiti diri sendiri, dan menangis sendiri, dihadapan Allah ku. Oh Allah....

Nak, aku, Himma, calon ibu kalian kelak. Aku bukanlah orang yg cukup baik untuk kalian tiru. Tapi sungguh, aku berupaya besar untuk menjadi sebaik baik orang di sisa waktuku belajar dalam kesendirianku. Agar kelak, kalian menemukanku sebagai sesosok ibu yg siap, kuat lahir dan batin, dan tentu saja layak kalian jadikan teladan.
Nak, aku, Himma, calon ibu kalian kelak. Aku minta maaf atas semua masa laluku, yg mungkin tidak bisa kalian banggakan. Namun lihatlah kini nak, aku mengusahakan masa kiniku dan masa depanku, untuk menjadi layak, menjadi pantas disebut sebagai seorang ibu bagi kalian, anak anakku.


Nak, kalian berhak melihat jejak jejak yg kutinggalkan. Oleh sebab itu, aku akan merapikan jejaknya. Akan aku bersihkan dari segala kerikil yg akan menghalangi kalian melihatku ke belakang. Untuk sekedar mengetahui, betapa membanggakannya ibumu ini.
Nak, kalau suatu hari kalian membaca setiap tulisan2 ibu, ibu pastikan takkan ada yg melukai hatimu. Karena aku, memperbaikinya, untuk menjadikannya layak, dijadikan teladan oleh kalian. Calon anak anakku.

Nak, aku, Himma, calon ibumu kelak. Aku yg sampai detik ini menuliskan tulisan ini untukmu, aku benar2 belum tahu siapa calon ayahmu. Karena aku sudah merubah doa2ku. Tak kusebut barang 1 nama dalam doaku untuk menjadi calon dari ayah kalian. Karena aku sungguh sadar. Setelah berulang kali berharap pada selain Nya, dan aku kecewa, begitu saja. Meskipun pada seseorang yg kulihat banyak kebaikan dalam dirinya. Berharaplah seperlunya pada calon ibu dan ayahmu. Gantngkan harapmu, pada Allah. Kamu tidak akan kecewa nak. Karena kamu sadar, aku, juga calon ayahmu adalah sesosok manusia yg belaja terus memperbaiki jejak jejak kami, untuk kau jelajahi di kemudian hari.

Salam,
Aku,
Himma,
Calon Ibumu.

Sabtu, 23 Juli 2016

Mencari Sendiri

Dan, menjadi mahasiswa tingkat akhir ternyata jauh lebih menyenangkan dengan semua kesibukannya. Dibandingkan, mahasiswa tingkat akhir yg sedang menunggu waktu libur usai, sebab ditinggal pergi partnernya untuk beramal. Ah :")


Dan aku, harus cukup bersyukur menikmati 1 minggu libur berkutat dengan lalalayeyeye skripsi, dan menikmati me time. Apalah, me time tapi ngga punya plan jalan kemanamana. Ah :") perempuan, jelas saja. Apalagi alasannya? Tapi tentu saja aku bersyukur. Karena mgkn dgn begitu, keluargaku menjaga anak anak perempuannya luar dan dalam.

(Lagi) Dan aku harus cukup bersyukur, menikmati waktu waktu sepi bersama diri sendiri. Mungkin sedikit banyak aku merubah diriku. Aku mulai membiasakan diri membenamkan diri pada angan khayal dan hati sendiri. Sebab aku tahu, tentu saja, aku tak bisa berharap pada satu orangpun di dunia ini. Sebab hanya Allah lah tempat berharap. Ahya, tapi mgkn kalian tak tahu, seberapa besar usahaku untuk menikmati sepi. Disaat mulut ini tak pernah terkunci barang sedetik ketika sdg bersama kalian. Karena, memang aku selalu rindu, dan sangat merindukan saat saat aku berkumpul dgn teman teman sebaya yg mgkn, semangat yg mereka bawalah yg membuatku menjadi kian menjadi jad atraktif dalam berekspresi. Namun dikala sepi, siapa yg tahu, bahwa diri ini sdg berkutat dgn angan dan khayal sendiri hanya untul menenangkan hatinya. Dan bisa jadi, aku mulai menikmati saat sepi dimana aku bisa berbicara dgn angan dan khayalku tanpa perlu memberhentikannya untuk berbicara. Ah :")

Aku sdg tidak sedih, juga sdg tidak senang. Justru saat saat seperti inilah, saat yg sgt aku benci. Saat dimana hatiku tak bisa merasakan apapun. Aku tak sedih karena apapun, juga jelas tidak senang karena apapun. Segalanya berjalan biasa saja, normal dan baik baik saja. Apalah yg kamu cari Him? Sedih salah, senang pun salah. Lha yg begini ini yg lbh salah.

Hmm, mgkn, seminggu ini, aku benar2 harus membenamkan diri dalam sepi. Hanya untuk menenangkan hatiku (mgkn). Mulai kembali lbh byk berinteraksi dgn diri sendiri dan buku yg akhirnya kujadikan pelarian untuk mengusir sepi yg mulai nenggerogoti. Karena cm bukulah, yg kadang, sejati menemani. Hanya saja, mood up and down yg membuat saya enggan menyentuhnya, hanya untuk sekedar merasakan hangatnya sapaan buku (ah lebay).

Baiklah, izinkan saya untuk mencari sendiri ketenangan hati saya. Dan lagi, saya sedang tidak sedih pula tidak senang. Biarkan hati saya mencari sendiri caranya menikmati sepi untuk menenangkannya, sampai akhirnya someday akan ada seseorang yg memenangkan hatiku. Lebih sering mengajak hatiku berbicara, mgkn juga bertukar cerita. Ah, someday. Dan aku lagi lagi hanya bisa menatap apa yg sdg ada dalam pandanganku. Hari esok memang masih jauh. Tapi, izinkan saya untuk mencari sendiri jalan menuju hari esok.

Sekian,
HS

Rabu, 25 Mei 2016

Menyapa Ruang Lama

Kembali menyapa ruang lama.

Apa kabar blog, maaf telah lama melewatkanmu.
Akibat asik dengan dunia baru sepertinya. Namun, aku, penikmat sekecil-kecil momen, perindu setiap potongan kisah, dan pecinta nostalgia. Tak jarang memang aku merindukan banyak momen dalam satu waktu kerandoman yang datang tiba-tiba. Tapi rasanya aku menikmatinya. Sebab, merindu potongan-potongan kisah lama membawaku pada seulas senyum dan setetes dua tetes air mata yang mungkin hanya aku yang dapat mengartikannya. Inilah, perempuan melow yang selalu menikmati momen merindu dalam kesendirian, ditiap malam, dikala sunyi, bahkan disaat sendiri.

Blog, setelah sekian lama aku tak menyapamu, apakah kiranya kau merindukanku? Atau menanti suatu perubahan baik dari diriku? Atau menunggu cerita yang sedikit berbobot ketimbang sebelumnya? Haha jangan terlalu berharap blog. Aku, tetap lah aku, meski setiap waktunya aku menguras seluruh tenaga untuk memoles ini dan itu. Tapi lagi-lagi, aku hanya berusaha, Dia yang menentukan. :)

Ditengah kesibukanku revisi sana sini, sembari menghitung mundur deadline submit proposal, aku justru asik menghibur diri. Kusempatkan setiap harinya membaca buku yang baru kubeli di setiap malamnya. Untunglah aku memilih buku yang tepat menjadi pengisi waktu sekaligus penyemangat dikala genting. Manusia namanya jika lupa harus diingatkan, jika salah harus diluruskan dan jika malas harus dibangkitkan. Sekiranya itu, pemicu yang membuatku memilih buku Salim A Fillah sebagai teman setiap akan memulai merevisi kerja-kerja duniawiku. Juga…..karena aku tahu kurangnya diri, maka kuasah dengan perlahan, mulai dari belajar untuk banyak tau, kemudian berlatih supaya terbiasa.

Buku kujadikan pegangan sembari perpedoman, dalam buku itu tak sedikit ayat Al Qur’an diselipkan, membantuku untuk bertadabur dikala mushaf tak sanggup kubaca seluruhnya (sekarang). Lantas berlatih. Pertama, aku merefleksi apa yang kurang, lantas kuasah sedikit demi sedikit agar tak setumpul kemarin. Iya, keberanian salah satunya. Aku, semua teman-teman yang menegenal dekat denganku tahu bahwasannnya aku tak bisa sendiri dan tak suka sendiri. Kemana-kemana, ikut apa-apa ya selalu ngikut orang. Setelah backpacker an sama Upay ke Bandung dan Jatinangor, perjalanan lah yang mengajarkanku untuk keluar dari zona nyamanku. Mau sampai kapan hidup menjadi buntut orang lain. Karena pada akhirnya aku akan berada di alam kubur sendiri, juga dihisab sendiri. Oleh sebab itu aku mulai melatih diriku siap sendiri.

Misal, aku mendaftarkan diri menjadi pengajar intensif SBM di BTA. Awalnya karena tertarik besaran rupiah yang ditawarkan, kemudian karena beberapa teman turut mengikutinya, semakin semangatlah. Ketika tau ternyata waktu mengajar tak selalu bersamaan dengan teman sekampus, mengharuskanku beranis sendiri, lantas ber-sksd dengan pengajar-pengajar senior yang pasti sudah lebih lama di BTA. Hingga akhirnya aku terbiasa, mengajar sendiri, di tempat baru, bertemu orang-orang baru, menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan berbahagia dengan pilihan baru. Setidaknya aku tahu, kalau sekarang aku bisa sendiri, tanpa orang lain. Kemajuan? Iya, kuapresiasi diri dengan lebih banyak membaca, meluangkan lebih banyak waktu untuk merefleksikan banyak-banyak apa yang kubaca. Lantas, masih dari pengalaman mengajar. Aku, seorang pemalu yang tak suka tampil di depan umum. Berbicara di depan orang banyak. Awalnya aku selalu deg-degan setiap kali mendapat jatah mengajar, takut-takut aku tak diterima lingkungan dan apa yang kucakapkan tak didengarkan. Itulah, yang selama Ini berhasil menahanku dalam kerangkeng malu yang pada akhirnya membiarkanku berlindung dibalik Maluku. Ah ternyata, mengajar, memberikanku kesempatan untuk banyak berbicara di depan banyak orang, menuntut banyak perhatian dan mengambil banyak waktu untuk menjelaskan yang selama ini juga selalu kutahan. Terbiasa memendam jawaban dan cara pikirku sendiri sampai rasanya ingin meledak. Ah kenapa ngga begini!!! Tadi kan dipikiran gue begini!! Jadi salah kan!! Itulah, sebab tak pernah berani menjelaskan, atau hanya sekedar mengungkapkan pendapat yang dimiliki. Karena lewat mengajar, aku mampu mengutarakan pendapatku. Menyampaikan dengan caraku, merasionalkan logikaku, menguraikan pola pikirku. Sudah itu saja. Dalam 1 poin kesempatan banyak hal baru yang kuasah utuk mempertajam yang telah lama tumpul. Meski belum berhasil betul, setidaknya aku memiliki alasan nanti jika diminta berdiri, maju, dan mengutarakan pendapatku, bahwa aku pernah menang melawan keegoisan diri utuk memelihara malu dan memendam nyali. Semoga dengan begitu, kepercayaan akan lebih banyak muncul. Semoga. Ohya, aku juga sedang mendaftar menjadi pengawas SIMAK UI untuk kedua kalinya. Satu lagi bentuk pengasahan yang lama tumpul. Berbekal pengalaman setahun lalu yang membawaku mandiri menjadi seorang pengawas berjaket kuning, yang ketika itu sedang dipuja-puja peserta ujian SIMAK, karena pasti dengan mereka mengikuti SIMAK mereka berharap menjadi bagian dari sijaket kuning. Maka, meski harus sendiri, kuberanikan diri mendaftar. Agar semakin banyak kesempatan yang kuambil untuk mengasah diri. Ah :”) doakan saja.

Karena sejatinya pembelajar terbaik adalah ia yang mampu mengevaluasi dirinya lantas menyatakan aksi sebagai wujud realisasi.

Itu saja kiranya, karena dalam hitungan bulan aku akan melangsungkan sidang skripsi. Dimana aku akan maju, sendiri, menjelaskan dan mengutarakan pendapatku. Maka, kesempatan demi kesempatan ku ambil untuk mempertajam dan mempersiapkan yang dekat. Semoga segalanua lancar. Aamiin

Salam, perempuan penikmat sekecil-kecil momen :)